Senin, 09 Januari 2012

Qishosul Qur'an

Tujuan Pemaparan Kisah-kisah Naratif di dalam Al-Qur’an Al-Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad yang paling besar. Kitab suci ini selain berisi ajaran yang diterima Rasulullah, juga banyak berisi cerita-cerita, sehingga di dalam Al-Qur’an sendiri, terdapat suatu surat bernama al-Qashash. Cerita-cerita yang terdapat dalam Al-Qur’an pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan dari peranan yang diemban Nabi saw. dalam melaksanakan tugasnya sebagai Rasul. Pengetahuan yang diberikan Allah kepada Rasulullah selain untuk membangkitkan semangat juang Nabi, juga sebagai salah satu bentuk dari mukjizat yang menunjukkan betapa Nabi sebagai seorang yang ‘ummi mempunyai pengetahuan yang sedemikian banyaknya tentang peristiwa-peristiwa masa lalu. Pengetahuan ini amat perlu karena selain memberikan keyakinan kepada masyarakat Arab pada masa itu tentang kebenaran yang beliau bawa, juga merupakan senjata yang amat ampuh dalam menghadapi tantangan orang-orang Yahudi yang berusaha menggagalkan misi yang dibawa oleh Rasulullah. Qashash al anbiyaa’

Jumat, 06 Januari 2012

Tujuan Qishosul Qur'an

Apa sih tujuan dari kisah2 naratif dalam Al-Qur'an?mau tahu?yuk simak.....!!! Tujuan Pemaparan Kisah-kisah Naratif di dalam Al-Qur’an Al-Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad yang paling besar. Kitab suci ini selain berisi ajaran yang diterima Rasulullah, juga banyak berisi cerita-cerita, sehingga di dalam Al-Qur’an sendiri, terdapat suatu surat bernama al-Qashash. Cerita-cerita yang terdapat dalam Al-Qur’an pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan dari peranan yang diemban Nabi saw. dalam melaksanakan tugasnya sebagai Rasul. Pengetahuan yang diberikan Allah kepada Rasulullah selain untuk membangkitkan semangat juang Nabi,

Selasa, 03 Januari 2012

makalah al-qur'an makki madani

PEMBAHASAN 

A. Pengertian Surat Makiyah dan Madaniyah 
Ada tiga pengertian yang dipakai para ulama’ dalam mengartikan surat makiyah dan madaniyah, yaitu : Pertama: Surat Makiyah adalah yang diturunkan di Makkah walaupun turunnya itu setelah hijrah. Yang termasuk turun di Makkah adalah daerah-daerah yang masih dalam kawasan Makkah, seperti di Mina, Arafah, dan Hudaibiyah. Sedangkan surat Madaniyah adalah yang diturunkan di Madinah. Yang termasuk turun di Madinah adalah seperti di kawasan Badar dan Uhud. Pembagian ini berdasarkan tempat turunnya Al-Qur’an (segi makani), tetapi hal ini tidak bisa dijadikan patokan atau batasan, karena hal ini tidak mencakup ayat-ayat yang diturunkan di selain Makkah dan Madinah. Tidak diragukan lagi bahwa tidak adanya batasan dalam pembagian itu menyebabkan tidak masuknya sejumlah ayat yang diturunkan diantara keduanya. Dan yang demikian ini mengandung cacat. Kedua: Surat Makiyah adalah yang mengkhitobi penduduk Mekkah, sedangkan ayat Madaniyah adalah yang mengkhotobi penduduk Madinah. Dari pengertian ini, dapat difahami bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang dimulai dengan ياايهاالناس adalah ayat Makiyah, dan ayat-ayat yang dimulai dengan ياايهاالذين امنوا adalah termasuk ayat Madaniyah. Karena kebanyakan orang kafir itu dari penduduk Makkah, meskipun dari penduduk Madinah juga ada yang kafir. Sedangkan orang-orang yang beriman kebanyakan dari penduduk Madinah, walaupun dari penduduk Mekah juga ada yang beriman. Pembagian ini didasarkan pada mukhotobnya (segi khitobi), tetapi ketentuan tadi mengecualikan dua hal : 1. Tidak adanya patokan dan batasan. Sebenarnya permulaan surat dalam Al-Qur’an tidak hanya dimulai dengan salah satu kedua lafadz tersebut. 
Sebagaimana dalam permulaan suratal-Munafiqun: اذاجاءك المنافقون قالوانشهدانك لرسول الله والله يعلم انك لرسوله والله يشهد ان المنا فقين لكادبون. (المنا فقون:1) 
 Artinya : “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu,mereka berkata:”Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rosul Allah”. Dan Allah mengetahui sesungguhnya kamu benar-benar Rosul-Nya; Dan Allah mengetahui sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.(QS.Al-Munafiqun:1). 2. Pembagian ini tidak berlaku secara umum dalam kedua sighot tersebut, melainkan terdapat ayat-ayat Madaniyah yang dimulai dengan sighot “Yaa Ayyuhan Naasu”dan terdapat ayat-ayat Makiyah yang dimulai dengan “Yaa Ayyuhal Ladziina Amanu”. Contoh yang pertama QS. An-Nisa’. Sebenarnya surat ini termasuk surat Madaniyah, namun permulaannya “Yaa Ayyuhan Nasu taku Robbakum”. Sedangkan contoh yang kedua adalah QS. Al-Hajj. Sebenarnya surat ini termasuk dalam kelompok surat Makiyah. Namun pada bagian akhir terdapat : يـــا ايها الذ ين امنوا ار كعوا واسجد وا . 
Sehingga sebagian ulama mengatakan, apabila yang dimaksud adalah sebagian besar ayat itu dimulai dengan ungkapan tersebut, maka yang demikian itu adalah benar. Ketiga: Ayat Makiyah adalah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebelum nabi hijrah, walaupun turunnya di lain kota Mekah. Sedangkan ayat Madaniyah adalah yang diturunkan setelah nabi hijrah, walaupun turunnya di Makkah. Pembagian ini dilihat dari waktu turunnya (segi zamani). Pembagian ini adalah pembagian yang benar dan selamat dari cacat, karena di sini terdapat patokan dan batasan yang barlaku secara umum.Oleh karena itu,kebanyakan ulama’ berpegang pada pendapat ini. Sebagaimana firman Allah SWT: اليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاسلام دينا 
Artinya : “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamu,dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu menjadi agama bagimu.(Al-maidah:3) Ayat ini diturunkan pada hari Jum’at di Arafah ketika haji Wada’, tetapi ayat ini termasuk ayat madaniyah.

Kodifikasi Al-Qur'an

BAB II PEMBAHASAN 

1 Pengertian Kodifikasi Al-qur’an Pengumpulan (kodifikasi Al-Qur’an) mempunyai 3 pengertian :

 1. Pengumpulan dalam konteks hifdzuhu (menghafal dan mengekspresikannya) Pengumpulan Al-qur’an dalam konteks ini pertama kali terjadi pada masa Rosulullah SAW, sehingga beliau adalah hafidz atau penghafal Al-Qur’an pertama kali. Dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya. Hal ini selaras dengan ayat Al-Qur’an yang Artinya : Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al-qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka itulah bacaannya itu. Kemudian atas tanggungan kamilah penjelasannya (QS. Al Qiyamah (75) : 16-19 ) Metode hafalan Rosulullah SAW : 
 1. Allah sudah menaruh hafalan tersebut di dada Rosul 
2. Malaikat Jibril menurunkan wahyu dan membacakannya 
 3. Nabi mendengarkan dan memperhatikannya 
 4. Setelah itu beliau baru membacanya 

 2. Pengumpulan dalam konteks kitabatuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an secara keseluruhan) Keistimewaan-keistimewaan kedua untuk Al-Qur’anul Adzim ini adalah pengumpulan dan penulisannya pada lembaran-lembaran, baik penulisan ini dengan pemisahan ayat-ayat dan surat-suratnya atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-surat dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain. 3. Pengumpulan lewat rekaman bacaan Al-Qur’an (murottal) A. Pengertian Murottal Yang dimaksud dengan pengumpulan lewat rekaman adalah pelestarian Al-qur’an dengan cara merekam dalam pita suara. Sudah diketahui bahwa terdapat hukum-hukum bacaan (tajwid ) yang harus diperhatikan oleh pembacaan Al-Qur’an. Hukum-hukum bacaan tidak mungkin kuat kecuali lewat penerimaan lisan secara langsung. Untuk menguatkan (tahqiq)Hanya bisa lewat media yang merupakan metode para ahli baca Al-Qur’an. Sementara pada masa sekarang, media dan alat perekam suara telah ditemukan dan bacaan bisa diulang kembali. Dalam rangka menyebarkan Al-Qur’an dan mengembangkannya di dunia islam terutama di negr-negri yang kekurangan pakar. Alat tersebut dapat digunakan sebagai media terbaik untuk memelihara dan mempelajari Al-Qur’an. Dan cara pelaksanaan tahapan ini adalah pembacaan yang berulang-ulang dari sang qori’. Al-Murottal berasal dari kata Ratlu As-Syaghri(tumbuhnya sama bagus dengan masaknya, dan merekah atau membelah ). Sedangkan menurut istilah adalah bacaan yang tenang, keluarnya huruf dari makhroj sesuai dengan semestinya yang disertai renungan makna. Ada yang berpendapat bahwa a-murottal adalah menjaga keluarnya huruf-hiruf(makhroj) , memperhatikan waqof-waqof(tanda berhenti ). 

al-qur'an, hadits qudsi dan wahyu

BAB I AL – QUR’AN A. Definisi Al – Qur’an Qara’a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun. Qira’ah berarti menghimpun huruf - huruf dan kata - kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapi. Para Ulama’ menyebutkan definisi Al – Qur’an yang mendekati maknanya dan membedakannya dari yang lain, karena sebagian dari Ulama’ banyak yang berpeda pendapat dengan menyebutkan bahwa : Qur’an adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Yang pembacaannya merupakan suatu Ibadah. B. Nama dan Sifatnya 1. Nama A – Qur’an  Al – Qur’an      Al – Kitab         Al – Furqon   •      •   Ad – Dzikr   •       At – Tauzil     • Al – Qur’an dan Al - Kitab adalah nama yang paling populer. Menurut Dr. Muhammad Abdllah Daraz : Ia dinamakan Qur’an karena dibaca”dengan lisan”. Dinamakan Al - Kitab karena ia “ditulis” dengan pena. Kedua nama ini menunjukkan makna yang sesuai kenyataannya. 2. Sifat - sifat Al - Qur’an  Nur (Cahaya)  ••            Huda (Petunjuk)  Syifa’ (Obat)  Rahmah (Rahmat)  Mauidzoh (Nasehat)  ••   •            Mubarak (Yang diberkati)         •  Busyra (Kabar gembira)          Aziz (Mulia) •            Majid (Dihormati)       Basyir (Pembawa kabar gembira & Nadzir (Pembawa peringatan)           C. Perbedaan antara Al – Qur’an dan Hadist Qudsi Al- Qur’an lebih utama dibandingkan dengan Hadist Qudsi karena Redaksionalnya diwahyukan atau langsung dari Allah. Sedang Hadist Qudsi diriwayatkan oleh para perawi yang Kredibel yang didapatkan dari Rasulullah. Rasulullah SAW mendapatkannya dari Allah melalui perantara Jibril atau Wahyu, Ilham, atau mimpi. Redaksi dari Hadist Qudsi itu diserahkan sepenuhnya kepada Rasulullah dengan menggunakan berbagai ucapan bahasa yang dikenal oleh manusia. Didalam kitab “Taisir Mushtholahul Hadist” karangan dari dr. Mahmoud At - Thohan disebutkan bahwa ada tiga perbedaan antara Al – Qur’an dan Hadist Qudsi, yaitu : 1) Al-Qur’an lafadz dan maknanya dari Allah. Sedang Hadist Qudsi maknanyan dari Allah redaksi dan lafadznya dari Nabi. 2) Al-Qur’an pembacaannya dianggap Ibadah sedangkan Hadist Qudsi tidak demikian. 3) Al-Qur’an disyaratkan harus mutawatir sedangkan Hadist Qudsi sebaliknya. Banyak perbedaan antara Al-Qur’an dan Hadist Qusdi, tetapi perbedaan yang paling dikenal adalah yang sudah disebutkan diatas. D. Perbedaan Hadist Nawawi dengan Hadist Qudsi Hadist Nabawi itu ada dua : Tauqifi yang bersifat Tauqifi, yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari Wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun didalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain. Taufiqi yang bersifat Taufiqi, yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah menurut pemahamannya terhadap Qur’an, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Qur’an atau menyimpulkannyadengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulan yang bersifat ijtihad ini diperkuat oleh Wahyu bila ia benar. Dan bila terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah Wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti. Dari sini jelaslah bahwa Hadist Nabawi dengan kedua bagiannya yang Tauqifi dan Taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh Wahyu itu bersumber dari Wahyu. Dan inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad SAW :            “Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut Hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya.” (an-Najm [53]:3-4) Hadist Qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW Melalui salah satu cara penurunan wahyu; sedang lafadznya dari Rasulullah SAW, inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya Hadist Qudsi kepada Allah Ta’ala adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafadznya. Sebab seandainya Hadist Qudsi itu lafadznya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara Hadist Qudsi dengan Qur’an; dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditentang, serta membacanya pun dianggap Ibadah. Mengenai hal ini timbul dua macam ketaskaan (Syubhah) : Pertama : Bahwa hadist Nabawi ini juga wahyu secara maknawi yang lafadznya dari Rasulullah SAW. Tetapi mengapa hadist Nabawi tidak kita namakan juga hadist Qudsi? Jawabnya ialah bahwa kita pasti merasa tenang hadist Qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nas syara’ yang menisbahkannya kepada Allah; yaitu kata-kata Rasulullah SAW. Allah Ta’ala telah berfirman atau Allah Ta’ala berfirman. Itu sebabnya, kita namakan hadist itu hadist Qudsi. Hal ini berbda dengan hadist-hadist Nabawi, karena hadist Nabawi itu tidak memuat nas seperti ini. Disamping itu masing-masing isinya boleh jadi diberitahukan (kepada Nabi) melalui Wahyu (yakni secara tauqifi) namun mungkin juga disimpukan melalui ijtihad (yaitu secara taufiqi. Dan oleh sebab itu, kita namakan masing-masing dengan Nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan nama Wahyu Tauqifi, tentulah Hadist Nabawi itu kiota namakan pula Hadist Qudsi. Kedua : Bahwa apabila lafadz Hadist Qudsi itu dari Rasulullah SAW maka dengan alasan apakah Hadist itu dinisbahkan kepada Allah melalui kat-kata Nabi “Allah Ta’la telah berfirman” atau “Allah Ta’ala berfirman?”. Jawabannya adalah bahwa hal demikian ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya, bukan berdasakan lafadznya. Misalnya, ketika kita mengubah sebait syair menjadi prosa, kita katakan “si penyair berkata demikian”. Juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang, kita pun mengatakan “si fulan berkata demikian”. Begitu juga Qur’an menceritakan tentang Musa, Fir’aun dan sebagainya, isi kata-kata mereka dengan lafadz yang bukan lafadz mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi dinisbahkan kepada mereka. BAB II WAHYU A. Definisi Wahyu Dikatakan Wahaitu ilaih dan Auhati, bila kita berbicara kepadanya agar tidak diketahui orang lain. Wahyu secara Etemologi dari kata Masdar (Infinitif) Al – Wahy (  ). Kata itu berarti suara, api dan kecpatan. Di samping itu, ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Sedang Wahyu Allah kepada para Nabi-Nya secara Terminologi didefinisikan sebagai “Kalam Allah yang dturunkan kepada seorang Nabi”. Definisi ini menggunakan pengertian Maf’ul, yaitu Al - Muha (yang diwahyukan). Dalam kata wahyu dengan demikian mengandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. B. Cara Turunnya Wahyu Ada 2 cara, pertama tanpa melalui perantaraan, daiantaranya ialah : Mimpi yang benar dalam tidur. Hal itu merupakan persiapan bagi Rasulullah untuk menerima Wahyu dalam keadaan sadar (tidak tidur). Mimpi yang benar itu juga dialami oleh Nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya Isma’il. Yang lain ialah kalam Ilahi dari balik tabir. Yang demikian itu terjadi pada Nabi Musa a.s. Kedua melalui Jibril, Malaikat pembawa Wahyu. Ada dua cara penyampaian Wahyu oleh Malaikat kepada Rasul : Cara pertama: Datang kepadanya suara seprti dentingan suara lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor - faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat buat Rasul. Apabila Wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW dengan cara ini, maka ia mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal, memahaminya. Dan suara itu mungkin sekali suara kepekaan sayap – sayap para Malikat, seperti diisyaratkan didalam Hadist : •• “Apabila Allah menghendaki suatu urusan dilangit, maka para Malikat memukul - mukulkan sayapnya, karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai diatas batu - batu yang licin”. Dan mungkin pula suara Malikat itu sendiri pada waktu Rasul pada mendengarnya untuk yang pertama kali. Cara kedua : Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki - laki dalam bentuk manusia. Cara yang demikian itu lebih ringan dari cara yang sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan pendengar. Kata Ibnu Khaldun : Dalam keadaan yang pertama Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan Malaikat yang yang sifanya rohani. Sedang dalam keadaan lain sebaliknya Malaikat berubah dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani. Keduanya itu tersebut dalam Hadist yang diriwayatkan oleh AisyahUmmul Mukminin r.a. bahwa Haris bin Hisyam r.a. bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai hal itu. Dan jawab Nabi : “Kadang - kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan terkadang Malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki - laki, lalu ia berbicara kepadaku, dan akupun memahami apa yang dia katakan”. (Hadist Bukhari) Aisyah juga meriwayatkan apa yang dialami oleh Rasulullah SAW berupa kepayahan, dia berkata : Aku pernah melihatnya tatkala Wahyu sedang turun kepadanya pada suatu hari yang sangat dingin. Lalu Malikat itu pergi, sedang keringatpun mengucur dari dahi Rasulullah SAW. (Hadist Bukhori). Adapun Hadist Rasulullah SAW mengenai hembusan didalam hati dalam bentuk Ilham mungkin dapat dikembalikan kepada salah satu dari dua keadaan yang tersebut dalam Hadist Aisyah. Mungkin Malaikat datang kepada beliau dalam keadaan yang menyerupai dencingan lonceng, lalu dihembuskan Wahyu kepadanya. Dan kemungkinan pula bahwa Wahyu yang melalui hembusan itu adalah Wahyu selain Qur’an. Demikian ini menurut Manna Khalil al-Qattan. Harun Nasution, didalam bukunya “Akal dan Wahyu dalam Islam” menyimpulkan bahwa ada tiga cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan nabi-nabi. Cara pertama melalui jantung hati seseorang dalam bentuk Ilham, kedua dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa, dan ketiga melalui utusan yang dikrimkan dalam bentuk Malaikat. Ayat menjelaskan demikian :        •                  Tor Andrae, kaum Orientalis, menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk Wahyu, pertama Auditory (Wahyu yang diterima melalui pendengaran) dan kedua (Wahyu yang diterima melalui penglihatan). Mengenai kalam Allah kepada para Malaikat-Nya ada nas-nas didalam Al-Qur’anul Karim dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para Malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh Malaikat itu. Adapu cara turunnya Wahyu Allah yang berupa Qur’an kepada Jibril terdapat perbedaan pendapat dikalangan para Ulama’ : A. Bahwa Jibril menerimanya secara pendengaran dari Alah dengan lafadznya yang khusus. B. Bahwa Jibril menghafalnya dari Lauhul Mahfudz C. Bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafadznya adalah lafadz Jibril atau Muhammad SAW. Pendapat pertama itulah yang benar, dan pendapat itu yang dijadikan pegangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. C Keraguan Orang-orang yang Ingkar terhadap Wahyu 1. Orang yang Jahiliyyah, dahulu dan sekarang mengira bahwa Qur’an bukanlah wahyu. Qur’an dari pribadi Muhammad, Muhammad menciptakan maknanya dan menyusun “bentuk gaya bahasanya”. Lalu menisbatkan semua itu dengan kalam Ilahi. Ini adalah sangkaan yang bathil. Sangkaan ini ditolak oleh kenyataan sejarah tentang prilaku Rasulullah SAW, kejujuran dan keterperpacayaannya yang terkenal, yang sudah disaksikan oleh musuh-musuhnya sebelum disaksikan olh kawan-kawanya sendiri. 2. Mereka menyangka bahwa Rasulullah SAW mempunyai ketajaman otak, kedalaman penglihatan, kakuatan firasat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar, yang menjadikannya memahami ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk, benar dan salah melaui Ilham (inspirasi) serta mengenali perkara-perkara yang rumit melalui kasyaf, sehingga Qur’an itu tidak lain dari pada hasil penalaran Intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh Muhmmad dengan gaya bahasa dan Retorikanya sendiri. 3. Kemudian mereka menambahkan bahwa kata hatinya mengalahkan inderanya, sehingga ia berkhayal bahwa dia melihat dan mendengar seseorang berbicara kepadanya. Yang demikian itu suatu kegilaan dan ilusi. Namun mereka terpaksa meninggalkan alasan-alasan itu, ketika mereka melihat didalam Qur’an terdapat segi berita baik berita masa lalu maupun berita masa yang akam datang. Mereka mengatakan : Mungkin berita itu dia peroleh dari seorang manusia diluar Makkah ketika ia pergi berdagang. Imam Sayyid Husain Affandi menjawab dalam kitab “Khusnul Hamidiyyah”, sesungguhnya ada riwayat menjelaskan bahwasannya Nabi keluar dari kota Makkah kenegara Syam untuk berdagang itu selama 2/3 bulan. Waktu yang hanya bisa dipakai untuk perjalanan pulang-pergi dan memenuhui kemaslahatan para pedagang yang lain. Sedangkan mempelajari berita-berita yang ada disyari’atkan beliau membutuhkan waktu sampai bertahun-tahun, meskipun sang guru paling pinternya guru, siapa yang membenarkan bahwa Nabi mempelajari keseluruhan itu dalam tempo yang singkatpadahal beliau adalah Dan adalah Nabi Muhammad membawa syari’at dan menyampaikannya kepada manusia secara berangsur-angsur menurut kemaslahatan, kejadian, pertanyaan, tuduhan dari para musuhnya dsb. Maka dari itu dikatakan kepada mereka : siapa guru (yang mereka tuduhkan) nya Nabi Muhammad dan mengajarinya sebelum pengakuan beliau sebagai utusan, sehingga Nabi mengetahui jawaban setiap pertanyaan yang akan dilontarkan padanya, dan menjawabnya seketika itu? Semoga Allah tetap menunjukkan pada kita jalan keselamatan. Muahammad SAW tumbuh dalam keadaan buta huruf dan tak seorang pun diantara mereka yang membawa simbol Ilmu dan pengajaran, kecuali sedikit. Ini adalah kenyataan yang disaksikan oleh sejarah dan tidak dapat diragukan. Tidak ada dikalangan peneliti yang dapat memberikan kata sepakat yang patut dijadikan saksi bahwa Nabi Muhammad telah menemui guru, karena orang seperti tersebut diatas pastinya terkenal dikalangan orang khusus dan umum. Andaikan guru itu sengaja menyembunyikan identitas dirinya maka itu sulit, karena belajar syari’at seperi ini membutuhkan kontak langsung yang berulang-ulang siang dan malam. Ketika orang dapat menanyakan kepada mereka siapa nama gurunya itu? Kita akan melihat jawaban yang kacau balau, bahwa gurunya itu seorang “Pandai besi Rumawi”. Bagaimana bisa diterima akal ilmu-ilmu Qur’an yang tingkatan fashahan dan Balaghohnya paling tinggi itu datang dari seseorang yang sehari-harinya hanya menekuni palu dan landasan besi, orang awam dengan lidah asing, yang bacaannya dalam bahasa arab hanya mericau saja. Ini merupakan bukti yang kuat bahwa Allah mewahyukan kepadanya Qur’an ini untuk menjadi petunjuk bagu umatnya. Dewasa ini adanya komunikasi antara orang-orang tertentu dengan Allah bukanlah hal yang ganjil karena jiwa ada yang jernih dan ada yang cemerlang, dan ada pula yang kotor dan kelam. Bagi Allah sangat mudah memilih sejumlah jiwa yang dasarnya begitu jernih agar dapat menerima sinar Ilahi dan Wahyu. D. Kesesatan Mutakallimin Para ahli ilmu kalam membagi kalam Allah menjadi dua bagian : kalam Nafsi yang kekal yang ada pada dzat Allah yang tidak berupa huruf, suara, tartib, dan tidak pula bahasa, dan kalam lafdz (Verbal), yaitu yang diturunkan kepada Nabi a.s. Mreka memperkuat pendapat bahwa Qur’an dalam pengertian kalam lafdzi diatas adalah makhluk, sedang bagi kita sudah cukup dengan beriman bahwa kalam itu adalah salah satu sifat diantara sekian sifat Allah. Demikian pula al-Qur’anul Karim (Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad) adalah kalamullah, bukan makhluk. Wallahu Ta’ala A’wam.

Wikipedia

Hasil penelusuran